Bandung, mungkin juga di beberapa kota di Indonesia sedang memasuki musim hujan. Cuaca yang terkadang di pagi hari cerah, tak lama di siang hari, bahkan masih sekitar pukul 12.00 hujan pun turun. Bahkan, hujan tidak segera reda. Hujan dapat terus mengguyur kota kembang ini hingga malam hari. Lalu kita harus bagaimana dengan hujan ini?
Bagi anak muda, musim hujan bisa saja sangat merepotkan. Nongkrong atau jadwal main pun agak berkurang atau terganggu. Tapi mungkin juga beda halnya bagi mereka yang sudah terbiasa dengan beragam cuaca. Mereka masih bisa produktif.
Karena hujan, kita pun bisa mengenal beberapa karakter setiap orang. Ada yang malas keluar rumah. Ada yang terbawa nostalgia. Dan ada pula, yang selera makannya semakin meningkat, apalagi makan bakso yang pedas diiringi gemericik air.
Lain halnya, bagi mereka yang tengah bekerja dan harus melakukan perjalanan jauh. Bisa saja semangat bekerja ke kantor pun menurun, apalagi ketika hujan turun di pagi hari. Sensasi mengendarai motor ketika hujan memang menjadi pengalaman tersendiri.
Tapi persoalan hujan ini justru lebih merepotkan bagi mereka yang sedang mengurus urusan perkotaan. Sama halnya Pemerintah Kota Bandung yang amat kurang antisipatif terhadap musim hujan ini. Kita tahu juga banjir pun akhirnya terjadi di beberapa titik di Kota Bandung.
Suatu hal yang seharusnya bisa diprediksi dan ditangani sejak jauh-jauh hari. Tapi, faktanya, pelayan masyarakat Kota Bandung ini selalu “mengeles” terhadap cuaca atau iklim yang ekstrem seperti hujan yang sedang terjadi ini.
Banjir, mungkin menurut versi pejabat di Kota Bandung ini adalah sesuatu yang terjadi sewajarnya. Dan sesuatu yang wajar itu selalu dialamatkan kepada hujan itu sendiri. Pertanyaanya lagi, lalu untuk apa ada Pemerintah Kota Bandung, ada dinas-dinas terkait, yang seharusnya dari pengalaman yang ada, dapat belajar dari banjir yang sudah pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya?
Kita pun menyaksikan, Pemerintah Kota Bandung dalam menghadapi dampak dari curah hujan yang tinggi ini terlalu menyederhanakan persoalan dengan menggantungkan dirinya pada anggaran yang dimilikinya. Tentu, untuk membangun infrastruktur yang terkait dengan pengairan membutuhkan dana yang besar. Tapi urusan dampak seperti banjir adalah bukan sekadar urusan anggaran yang kurang. Urusan yang paling penting adalah bagaimana Pemerintah Kota Bandung ini memiliki desain antisipasi terhadap hujan dengan melibatkan masyarakat Kota Bandung lebih peka terhadap lingkungannya.
Jangan justru, petugas pembersih gorong-gorong, petugas pengairan terlihat ketika musim hujan ini terjadi. Kenapa tidak sejak jauh-jauh hari, Pemerintah Kota Bandung benar-benar serius memperhatikan infrastruktur di sepanjang aliran sungai yang ada di Kota Bandung ini benar-benar siap menghadapi curah hujan yang tinggi. Bagaimana drainase, atau gorong-gorong di setiap tempat, di setiap komplek itu benar-benar mengalir dengan lancar. Di perkotaan, gorong-gorong sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Dan menjadi masalah ketika air yang mengalir di gorong-gorong itu mampet dan terkontaminasi limbah sampah masyarakat. Apalagi, ketika musim hujan terjadi, persoalan gorong-gorong bukan lagi persoalan biasa. Bau dan menjijikan. Ada peran Pemerintahan yang harus hadir di sana.
Lalu, di musim hujan ini, Pemerintah Kota Bandung pun semakin terlihat ketidaksiapannya dengan berita sampah-sampah yang menumpuk lama di beberapa tempat dan tidak segera diangkut ke tempat pembuangan akhir. Lengkap lah sudah, persoalan lingkungan semakin menjadi di kota metropolis seperti Bandung ini ketika musim hujan tiba. Dengan kondisi seperti ini, tampaknya Pemerintah Kota Bandung seperti halnya orang yang tengah berkendara motor di jalanan Kota Bandung yaitu tidak sedia jas hujan sebelum hujan. Karena itu, Mang Oded harus selalu sedia jas hujan sebelum hujan membasahi bajunya. Tak lupa juga, pesan ini sangat cocok untuk mantan koleganya di Kota Bandung yang panggilannya bisa kita samakan, Mang Emil, apa kabarnya?
Ridlo Abdillah
Kolumnis Muda