Dr Danudirdja Setiabudi bersama istri, dan Dr Setiabudi pernah menjadi wartawan "de locomotive |
Penulis : Adi Raksanagara
Ini pertempuran di sebuah jalan di Kota Bandung, Bung! Jalannya sih biasa saja, seperti jalan-jalan lain di Kota Bandung yang padat. Di hari libur biasa juga jalan ini padat dan memcetkan karena menjadi akses menuju ke kawasan wisata Lembang. Dulu namanya cukup disebut Jalan Lembang saja, sekarang jadi Jalan Setiabudi, untuk mengabadikan seorang pahlawan nasional berkebangsaan asing bernama Ernest Douwes Dekker yang kemudian berganti nama jadi Danudirdja Setiabudi.
Di jalan itu terdapat ikon yang melegenda hingga kini, Villa Isola namanya. Sekarang sudah jadi kampus UPI, Universitas Pendidikan Indonesia. Kampus ini juga sebelumnya bernama IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung. Agak dulu lagi gedung ini sempat dijadikan markas para pejuang yang tergabung dalam BKR/TKR Batalyon Bandung Utara yang dipimpin Sukanda Bratamanggala, sehingga lebih dikenal dengan nama Batalyon Sukanda.
Pasukan ini dikenal juga sebagai batalyon yang paling lengkap persenjataannya serta aksi-aksi “gangguannya” pun bikin gemes pasukan Inggris yang didompleng Belanda itu. Karena bermarkas di kawasan tinggi, setiap pergerakan tentara Inggris ke arah utara Bandung jadi mudah diamati dan seranganya pun gagal melulu.
Satu di antara rangkaian pertempurannya yang sengit, terjadi di daerah Tjigoléndang. Daerah ini sekarang dikenal dengan Jalan Setiabudi antara Kampus UPI hingga sekitar Gegerkalong Hilir. Kala itu masih lénglang dengan persawahan di kiri kanan jalan.
Informasi Penculikan
Malam itu, tanggal 18 Desember pimpinan Batalyon mendapat informasi bahwa tentara Inggris berencana akan menculik istri Douwes Dekker, untuk membungkam Douwes Dekker yang sudah dianggap sebagai pejuang kebangsaan Indonesia. Hingga kini pun dia diakui sebagai pahlawan nasional.
Rencana untuk mencegah penculikan pun segera dirundingkan. Pimpinan Batalyon menugasi Letnan Hamid, Sersan Bajuri, Sersan Sodik dan Sersan Surip untuk menjemput dan menyelamatkan Nyonya Douwes Dekker. Sementara upaya menghadapi kemungkinan serangan tentara Inggris, pimpinan batalyon menugaskan Sukarya yang selain anggota pasukan TKR dia juga pemimpin kelompok pemuda pejuang.
Malam itu juga Sukarya memimpin memobilisasi anggota TKR dan pemuda untuk membuat rintangan di jalan sepanjang Tjigolédang. Jalan Setiabudi (sekarang) mulai dari Warung Kérsen (Gegerklong Hilir) sampai kampus UPI dipasangi rintangan dari batang pohon-pohon yang ditebang. Selain rintangan dari tebangan pohon, jalanan juga ditutup rerumputan kering. Di satu sudut disimpan sebuah gentong besar berisi bensin lalu dikamuflase oleh rerumputan.
Kalau saja tank dan kendaran tempur tentara Inggris itu terhambat gerakannya, lalu masuk perangkap, pasukan TKR yang sudah disiagakan akan menembaki gentong itu. Gentong pecah , lalu “Blaaar!” Apa boleh buat, gosong deh. Begitu siasatnya.
Villa isola jaman dulu ( ilustrasi) |
Benarlah, keesokan paginya sekira pukul 06.00 tentara Inggris dibantu Gurkha (India/Sikh) teramati bergerak menuju Bumi Siliwangi. Di waktu yang bersamaan Letnan Hamid dan kawan-kawannya sudah mengevakuasi Nyonya Douwes Dekker dari rumahnya sekitar Gegerkalong Hilir ke Gegerkalong Girang.(FKIT sekarang) yang masih berupa persawahan.
Selang beberapa waktu Letnan Hamid mendengan rentetan tembakan, rupanya sudah terjadi kontak senjata antara pasukan TKR Batalyon Bandung Utara dan pemuda pejuang dengan tentara Inggris. Letnan Hamid segera mengevakuasi lagi Ibu Douwes Dekker menjauh ke garis belakang untuk lebih menjamin keselamatnnya.
Sukarya sedang merokok |
Setelah istri dari Pahlawan Nasional itu ditempatkan di lokasi yang aman, Letnan Hamid beserta ketiga kawannya itu menuju medan pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengit. Rupanya ada pula kendaraan tempur tentara Inggris yang lolos dari rintangan dengan melewati pinggiran kiri dan kanan jalan. Menurut kisah, Letnan Hamid beserta Sersan Bajuri, Sersan Sodik dan Sersan Surip adalah anggota TKR yang memiliki semangat juang tinggi. Tidak heran, begitu terdengar rentetan tembakan mereka tidak mau tinggal diam, lalu bergabung dengan peleton di garis pertahanan pertama yang dipimpin oleh Letnan Kustama. Lokasinya di sekitar bangunan FKIT sekarang.
Untuk menghadapi serangan tentara Inggris pada waktu itu memang disiasati dengan 4 lapis pertahanan. Mulai dari pos pertama itu kea rah utara ada pos pertahanan kedua, ketiga dan keempat, masing-masing dipimpin Letnan Mahdar, Letnan Anda Mansyur dan Sersan Mayor Muhtar. Namun kekuatan tentara Inggis yang dibantu Gurkha itu rupanya terus mendesak ke utara dengan rentetan tembakan yang gencar. Para pejuang Bandung Utara pun kehilangan posisi. Pertahan lapisan kedua, ketiga dan keempat sampai harus saling bantu dan bergabung. Sedangkan pertahanan pertama tidak ada kabar karena untuk komunikasi pun masih mengandalkan kurir.
Bumi Siliwangi yang waktu itu (1945) jadi markas Batalyon Sukanda (Bandung Utara/Batara) |
Setelah pertempuran berlangsung sekira satu jam. Situasi memburuk dan ada instruksi untuk melakukan penyingkiran. Ternyata tentara Inggris itu juga tidak jadi merangsek ke Bumi Siliwangi, mereka menarik diri kembali ke selatan dengan membawa korban-korbannya yang terluka dan yang tewas.
Sekira pukul 11 tembak-menembak berhenti. Tapi belum ada kabar peleton I dari garis depan. Baru di malam harinya ada kabar bahwa pasukan di garis depan berhasil menghindar ke arah Lembang namun dengan korban gugur 4 orang yaitu Letnan Hamid, Sersan Bajuri, Sersan Sodik dan Sersan Surip. Selain itu ada pula korban yang gugur dari laskar pejuang di antaranya dari BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia) sekira 30 orang. Konon jasad Letnan Hamid dan 3 kawannya itu ditemukan di sekitar Jalan Panorama .
Sepenggal kisah ini kiranya dapat mengingatkan warga Bandung bahwa di jalan yang tidak pernah sepi ini ada jejak sejarah dan aura ruh para pejuang Bandung, yang nyaris terlupakan . Sumber, “Peran Para Pejuang Bandung Utara dalam Perang Kemerdekaan (Agustus 1945 s,d. Maret 1946), Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Pendidikan IPS,IKIP Bandung (1984). adi raksanagara.
Foto-foto istimewa, dari koleksi Keluarga Sukarya.
Pemandangan dari Villa Isoli, strategis. |